Kiai Muhyiddin, Alumni,  dan Jaringan  Ideologi Aswaja

                                                  Oleh: Moch Eksan

 

KH Muhyiddin Abdusshomad, bukanlah kiai pondok pesantren biasa, namun seorang tokoh simpul dari jaringan kader pejuang Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Banyak pendekar Aswaja yang tampil kepermukaan publik terlahir dari tangan dinginnya.

 

Melalui Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) dan NU Jember, kiai kelahiran Jember, 5 Mei 1955 ini membangun jaringan ideologis Aswaja dari kalangan pesantren dan kampus. Mereka dibekali kemampuan debat dengan dalil-dalil agama yang kuat, serta mumpuni dalam membentengi umat dari serangan ideologi Islam yang lain.

 

Ternyata, doktrin ideologi Aswaja Kiai Muhyid –sapaan akrabnya–  cukup berhasil. Kader muda besutannya menjadi “singa” Aswaja yang disegani oleh kawan maupun lawan. Sebut saja, Ustadz Idrus Ramli, Dr KH Abdullah Syamsul Arifin,  Prof Dr MN Harisuddin, Dr Abdul Haris, Dr Pujiono dan lainnya.

 

Pelibatan intelektual kampus agama maupun umum dalam struktur Pengurus Cabang NU Jember, relatif efektif dalam melakukan kaderisasi Aswaja di kalangan kaum terpelajar. Dalam istilah antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz, mereka adalah cultural brokers yang menjadi jembatan penghubung antara budaya pesantren dan kampus.

 

Jaringan  kiai pesantren dan intelektual kampus dalam wadah organisasi dan kegiatan sosial keagamaan-kemasyarakatan yang dirintis oleh Kiai Muhyid, telah menciptakan kebersamaan dan kerjasama yang bagus. Sehingga, pesantren dan kampus bukan lagi menjadi “menara gading”.

 

Pesantren dan kampus sama-sama membumi dalam membina dan memberdayakan umat dan bangsa. Disini, peran penting dan strategis Kiai Muhyid dalam menjalankan fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan umat dari pesantren sebagai NU kecil dan NU sebagai pesantren besar, seperti amanah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

 

Selain itu, Kiai Muhyid terkait dengan alumni Pondok Pesantren Darussalam dan Nuris Jember yang tersebar di seluruh Tanah Air. Mereka sudah banyak yang matang dan mapan di tengah-tengah masyarakat. Mereka merupakan estafet pemikiran dan perjungan dari kiai penulis produktif ini. Jumlah mereka sudah mencapai puluhan ribu sejak Darussalam berdiri pada 1968 dan Nuris lahir pada 1981. Darussalam adalah pesantren yang didirikan KH Abdusshomad, dan telah banyak melahirkan birokrat dan tokoh politik berskala regional maupun nasional. Sedangkan Nuris adalah pesantren yang didirikan dan diasuh oleh Kiai Muhyid, yang merupakan putra KH Abdusshomad.

 

Di PCNU Jember, Kiai Muhyid sudah lebih dua dekade mengomandani NU, pernah menjadi Ketua PCNU (1999-2009), dan Rais Syuriah PCNU Jember (2009-sekarang). Posisinya sebagai pemimpin NU telah menguatkan jaringan strukturalnya sampai ke tingkat nasional. Sedari muda dia punya hubungan dekat dengan keluarga besar Ciganjur sebagai ulama intelektual dan kiai feminis.

 

Hubungan baik secara kultural dan struktural di atas merupakan modal sosial Kiai Muhyid dalam melaksanakan dan melestarikan fiqih tradisionalis yang digagasnya. Sebuah amal keseharian kaum Nahdliyin yang nyata-nyata berbasis kitabullah, sunah Rasulullah SAW serta salafunas sholih

 

Bahkan di tengah arus Islam Takfiri yang menyerang jantung amal keseharian NU, Kiai Muhyid adalah ulama pertama yang berhasil membangun dalil-dali nash yang shahih dan sharih atas sejumlah amal yang digugat sebagai perbuatan bi’ah, khurafat dan syirik oleh kelompok Islam lain.

 

Saat ini, Kiai Muhyid telah mendirikan Ma’had Aly bidang aqidah dan filsafat Islam yang merupakan perguruan tinggi pesantren. Ma’had Aly ini sudah mendapatkan legalitas dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

 

Ma’had Aly di pesantren Nuris ini bertujuan untuk mencetak pejuang akidah Aswaja yang kuat, tangguh, penuh dedikasi, integritas, dan profesional, serta berada di garda terdepan dalam menghadapi radikalisme dan terorisme atas nama agama, yang tak pernah lenyap di bumi Nusantara.

 

Untuk itu, perguruan tinggi pesantren ini melakukan kajian kritis terhadap kitab-kitab karya Imam al-Asy’ari, juga kitab-kitab lain dari ulama mutakallimin klasik maupun kontemporer.

 

Di antara kitab-kitab tersebut adalah; Kitab Istihsān al-Khaud fi al-‘Ilm al-Kalām, karya Imam al-Asy’ari, kitab Aqidah Ahlissunnah wal Jamaah karya Syeikh Ali al-Jum’ah.

 

Jadi, kemampuan Kiai Muhyid dalam penguasaan khazanah Islam klasik, kemampuan mengkontekstualisasikan kitab kuning, serta kesiapan mendialogkan dengan jaringan ideologi Aswaja, kian menyakinkan pemikiran dan perjuangannya semakin diterima banyak kalangan. Bahwa fiqih tradisionalis karya alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Sumberbringin dan Pondok Pesantren Sidogiri ini, merupakan esensi Islam rahmatan lil alamin.

 

Suatu potret Islam pesantren yang tak hanya mengajarkan bagaimana menjadi orang baik tetapi juga orang yang bermanfaat terhadap sesama manusia. Saya teringat pernyataan KH MA Sahal Mahfudz: Menjadi orang baik itu mudah, dengan diam yang tampak adalah kebaikan. Yang sulit adalah menjadi bermanfaat karena ia membutuhkan perjuangan.

 

*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan