Anang Akhmad Syaifuddin, Tradisi Mundur dan Teladan Pejabat

 

Oleh: Moch Eksan

 

Nama lengkapnya Anang Achmad Syaifuddin (AAS). Lelaki kelahiran Lumajang, 24 Nopember 1972 ini, menghentak kesadaran publik, masih ada pejabat di negeri ini yang gentle mengakui berbuat salah, minta maaf dan mengundurkan diri dari posisinya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Lumajang.

 

Langkah AAS ini memberi teladan yang baik bagi pejabat publik yang lain. Bila ia berbuat salah, ia berani mundur dari jabatannya. Padahal, posisi sebagai Ketua DPRD kabupaten/kota merupakan orang nomor wahid di lingkungan parlemen daerah setempat. Jabatan ini merupakan incaran semua politisi di kolong jagad ini.

 

Kesalahan AAS sesungguhnya bisa dialami oleh siapa pun. Dalam kondisi ngeblank, siapa saja bisa lupa melafalkan sesuatu, hatta kata atau kalimat yang biasa diucapkannya tiap hari. Ia sedang bernasib sial, di hadapan massa HMI, ia tak bisa menyebut secara baik dan benar sila ke-4 Pancasila.

 

Sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, memang dalam struktur kalimat ini yang sulit dihafal. Apalagi, di dalam susunan kalimatnya terdapat kata yang tak mudah dicerna, membingungkan dan bias tafsir, seperti kata “hikmah kebijaksanaan” dan “permusyawaratan/perwakilan”.

 

Banyak anak Indonesia, sulit menghafal sila soal kepemimpinan demokrasi ini. Hal yang tak sama dengan Sila-sila Pancasila yang lain yang jelas dan tegas. AAS dalam konteks ini mengalami bias lafal yang jamak dialami oleh banyak orang tersebut.

 

Dalam pengejawantahan nilai, sila ke-4 Pancasila ini bias dengan demokrasi liberal yang berlaku di Indonesia sekarang. Musyawarah mufakat yang menjadi rohnya lebih sekadar slogan. Yang umum berlangsung suara terbanyak melalui  pemilu langsung dan mekanisme voting dalam rapat.

 

Teks dan konteks perkembangan politik demokratis mutakhir, berbeda jauh. Indonesia menjadi negara demokrasi liberal ke-3 terbesar di dunia. Siapa pun tak bisa membantah potret kepemimpinan nasional dan daerah yang merupakan pilihan langsung rakyat.

 

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai perwujudan sila ke-4 Pancasila merupakan lembaga tinggi negara yang anggotanya wakil dari partai dan daerah yang dipilih melalui pemilu. Tidak sedikit kelompok yang tak punya perwakilan. Apalagi kelompok masyarakat adat dan kelompok minoritas yang tak bisa ikut pemilu atau kalah dalam pemilu. Mereka hanya jadi penonton dan berada di luar institusi pemerintahan.

 

Para the founding fathers merumuskan Sila Kerakyatan ini juga didasarkan pada budaya gotong royong yang menjadi warisan luhur budaya bangsa dari abad ke abad. Budaya tersebut dibajak oleh budaya demokrasi transaksional yang melegalkan oligarki dan politik dinasti. Parlemen hari ini kebanyakan diisi oleh pengusaha dan kerabat elite politik yang berkuasa.

 

Rupanya, Tuhan Yang Maha Esa sengaja mengkelukan lidah AAS sehingga salah dalam melafal sila ke-4 Pancasila berulang-ulang. Ini warning terhadap praktik demokrasi matre yang berbiaya tinggi. Sejatinya, reformasi tak menginginkan vote buying agar terpilih menjadi pejabat publik. Ini bukan sekadar tak sehat namun menghancurkan demokrasi itu sendiri.

 

Sengaja atau tidak,  perjalanan politik kita menuju pada demokrasi yang ‘membangkrutkan’. Praktik elektoral kian permisif terhadap money politics (politik uang). Masyarakat pemilih dari pemilu ke pemilu kian toleran terhadap jual beli suara. Susunan pemerintahan berdasarkan pada Keuangan Yang Maha Kuasa. Negara dalam kendali kuasa modal. Akal dan hati nurani benar-benar terabaikan.

 

Kasus AAS mengingatkan bangsa ini, untuk merestorasi demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial. Semua menyadari kuasa modal itu hanya bisa menyentuh kulit bukan isi dari kekuasaan itu sendiri. Seperti kata bijak berikut ini:

 

Dengan uang, kamu bisa membeli buku, tapi bukan pengetahuan. Dengan uang, kamu bisa membeli posisi, tapi bukan rasa hormat. Dengan uang, kamu bisa membeli jam, tapi bukan waktu. Uang tidak menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan uang.

 

AAS telah memberikan contoh. Betapa rasa malu telah menjadi lentera akal dan hati nuraninya untuk mundur. Benar petuah Nabi Agung Muhammad SAW, al-haya’ minal iman (malu itu sebagian dari iman). Indonesia membutuhkan pejabat publik yang menghidupkan rasa malu untuk meningkatkan kualitas pemerintahan demokrasi. Semoga!.

 

*) Penulis adalah pendiri Eksan Institute

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan